Gemabangsa.id, NTT - Kuasa Hukum Kapolres Nagekeo Tobbyas Ndiwa akhirnya angkat bicara menanggapi tuduhan dan tuntutan tak berdasar Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).
Menurut Tobbyas, tuduhan TPDI terhadap Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata serta memvonis melanggar kode etik, sama sekali tidak mempunyai legal standing yang jelas.
"Saya menganggap apa yang disampaikan kawan-kawan TPDI terlalu sumir dan sepihak.Yang dituduhkan kepada klien kami selama ini dalam istilah hukum, itu premature. Mengapa, karena proses di Mabes saja belum, kok sudah menyimpulkan dan menuntut pencopotan, ada motif apa sih?," ujar Tobbyas, Kamis (04/05/2023).
Menurut lelaki familiar disapa bung Tobby ini, TPDI seharusnya mengedepankan asas imparsialitas alias tidak memihak dalam membuat pernyataan apalagi membuat pernyataan hanya berdasarkan informasi sepihak.
Kata dia lagi, pernyataan Petrus Salestinus selaku ketua TPDI telah menyudutkan kliennya dimana baginya hal tersebut sarkas serta tidak adil dari sisi perlindungan hukum maupun sisi moral.
"Siapa saja sih sebagai pihak pengadu, seperti apa uraian kronologi peristiwa, lalu apa saja kerugian hukumnya, kan harus ada alasan hukum yang jelas dan runut sebagai legal standingnya. Hal ini perlu saya sampikan ke publik, karena TPDI sudah terlebih dahulu memvonis dan melakukan Playing Victim dan Toxic terlebih memframing di media massa tuntutan pencopotan klien kami," lugasnya.
"Memangnya TPDI itu lembaga peradilan kah untuk mengadili sesorang.TPDI menggunakan metode apa dalam menyimpulkan menyikapi persoalan ini dimana ada salah satu poinnya menuntut pencopotan klien kami. Barang bukti valid dan saksi-saksi hasil investigasi di lapangan apa saja, dengana siapa saja yang diwawancarai. Masa hanya dari Jakarta kemudian menyimpulkan dari potongan video menjadika narasi-narasi lalu dijadikan rujukan menuntut pencopotan Kapolres," lirih Tobby.
Menurut Tobby lagi, kalau pun memaksakan kehendak berarti TPDI sedang mengalami degradasi kredibilitas yang luar biasa terutama dalam prinsip penegakan hukum yang transparan dan akuntable.
"Kalau begitu TPDI mengalami degradasi kredibilitas yang luar biasa dalam prinsip penegakan hukum yang transparan dan akuntable. Karena hanya menggunakan hasil investigasi social media, tetapi tidak melakukan investigasi secara holistic," katanya.
Tobby juga mempertanyakan perihal metode investigasi yang dilakukan oleh TPDI sehingga bersikukuh menuntut Kapolres Nagekeo agar dicopot dari jabatannya.
Lebih lanjut, hingga saat ini pihak TPDI maupun tim investigasi independent lainnya yang mendatangi Nagekeo kecuali tim dari Polda NTT dimana informasi sementara, bahwa tidak ada kesalahan yang dilakuakan kliennya.
"Ataukah mungkin TPDI memiliki perangkat canggih Cyber Crime investigation sendiri yang bisa mendeteksi dan menyimpulkan secara detail sebuah barang bukti hasil dugaan tindak kejahatan melalui informasi elektronik ? Wah canggih dong. Kapan pihak TPDI mendatangi dan melakukan investigasi secara utuh di Nagekeo terutama kepada pihak-pihak yang berkaitan?. Siapa saja yang diwawancarai termasuk barang bukti valid apa saja yang menjadi pegangan? Apabila tidak pernah dilakukan investigasi maka ini off side ikut membuat kegaduhan public Nagekeo. Karena telah mendahulukan kesimpulan tanpa melewati proses sebagaimana proses sidang etik bagi anggota polri yang di adukan. Apalagi keterangan yang kami himpun, sampai saat ini belum ada pihak TPDI maupun tim investigasi independent lainnya yang mendatangi Nagekeo. Kecuali tim dari Polda NTT, yang informasi sementara, tidak ada kesalahan yang dilakuakan klien kami. Bicara hukum hal yang paling utama adalah kwalitas fakta, bukan naras-narasi," tegas dia.
Tobby mengutarakan bahwa, dalam prinsip negara hukum yang berlaku secara equal, siapapun boleh mengadu atau melaporkan seseorang atau pemimpin suatu institusi pemerintahan apabila, diduga melanggar hukum atau telah melakukan perbuatan tercela, termasuk pengaduan TPDI kepada kliennya.
Seharusnya TPDI mengedepankan asas presumption of innocence, semua aduan harus di uji validasinya baik barang bukti maupun keterangan saksi-saksi yang benar-benar mengetahui, melihat dan mendengar semua peristiwa secara runut dan utuh.
"Saya tegaskan ini masih dugaan. Tapi dalam faktanya selama ini, TPDI langsung membuat framing seolah telah terbukti klien kami bersalah. Yang procedural dong, ada tahapan proses, apa benar klien kami terbukti bersalah atau tidak. Dipanggil ke Mabes Polri saja belum, proses siding etik saja belum, putusan sidang etik saja belum, kok secara massif membuat isu menuntut pencopotan klien kami, dengan narasi-narasi berupaya meyakinkan kepercayaan publik. Ingat ya, semua aduan harus di uji validasinya barang bukti, maupun keterangan saksi-saksi yang benar-benar mengetahui, melihat dan mendengar semua peristiwa secara runut dan utuh. Institusi Mabes Polri bukan organisasi abal-abal yang langsung memproses aduan satu pihak. Apabila klien kami dipanggil Divisi Propam Mabes Polri, kami tegaskan tentu ada konsekwensi pidana bagi pihak yang memberi kesaksian palsu atau mengarang cerita yang telah menyeret dan memfitnah klien kami. Dalam waktu dekat kami juga akan mendatangi Mabes polri untuk membeberkan bukti-bukti versi klien kami. Biar fair, mari kita sama-sama menunggu, dalil-dali, bukti dan kesaksian pihak mana yang diterima," tuturnya.
Selain itu, Tobby meminta agar TPDI stop membuat gaduh yang terkesan profokatif dan menggiring opini di media apalagi mulai mencari dukungan menggandeng banyak pihak seolah di Nagekeo mengalami kegentingan yang luar biasa faktanya saat ini Nagekeo aman damai.
Dia juga berharap, masyarakat Nagekeo tetap melakukan aktifitas dengan normal, petani, nelayan dan pelayanan publik berjalan seperti biasanya. Sambung dia, Nagekeo tak setegang seperti yang ada di media dan dunia maya, tidak ada pembelahan kelompok secara membabi buta seperti yang digambar-gemborkan oleh TPDI.
"Meski saat ini Bupati dan DPRD diam membisu. Kalau terus menggiring opini public tentang drama sangkur oleh karena potongan video dianggap meresahkan dan menyeramkan, maka banyak orang luar NTT pun merasakan hal yang sama saat pertama datang ke NTT khusunya di Nagekeo dan Ngada. Melihat budaya kita yang selalu membawa parang ke mana-mana. Menurut kita itu hal biasa, bagi mereka itu menyeramkan. Lalu seandainya hal demikian misalnya kita praktikan di pulau jawa dll dengan membawa parang ke mana-mana. Saya yakin Undang-Undang Darurat No.12 Tahun 1951 pasti menjerat orang-orang kita. Mungkin bagi kita itu hal biasa, namun bagi mereka itu pengalaman yang juga menyeramkan dianggap berbahaya. Kira-kira itu bagaimana. Atau mau UU tersebut di terapkan di NTT, saya yakin masyarakat kita akan demo besar-besaran menganggap negara tidak mengahrgai budaya kita. Padahal yang terjadi saat itu, klien kami sedang diskusi dengan warga Kawa yang menunjukan kesetiaannya sebagai parjurit Bhayangkara sejati bukti kesetiaan kepada bangsa dan negara. Iya, kalau menonton hanya sepotong penggalan video yang beredar luas, ya terkesan negative. Beda halnya apabila sangkur itu di arahkan kepada seseorang yang hadir didisitu maka hal itu tidak dibenarakan secara etika yang bisa masuk dalam kategori pengancaman. Menilai sebuah konten harus secara sempurna, bukan dengan cara sepotong-sepotong lalu menghakimi orang lain. Itu bukan tindakan yang bijak, apalagi tuduhan pelanggaran hukum dan kode etik. Hal lain, dalam konsepsi kepolisian, polisi mempunyai banyak cara dan strategi dalam hal pendekatan, memediasi konflik antar kelompok di masyarkaat maupun dalam penegakan hukum pidana. Saya pikir semua advokat professional yang sering mendampingi perkara pidana pasti paham tentang hal dimakasud," jelasnya.
Tobbyas juga menyarankan, bagi pihak-pihak yang masih menggoreng kasus yang menggunakan potongan video menjual seolah-olah atas nama suku Kawa silahkan nyimak pernyataan warga Kawa di link youtube Humas Polres Nagekeo berikut ini https://youtu.be/f9B2a_8U2Gw. sehingga tidak menjadi kaum korban hoax.
Bantah Tuduhan Framing Percakapan Ancam Wartawan
"Berikutnya kami sampaikan bantahan klien kami tentang tuduhan dan framing sepihak selama ini. Berikutnya percakapan yang sesungguhnya dalam Whatsup Grop (WA) pada tanggal 29 Maret 2023 yang disamapikan secara langsung ke kami ;
Dimana ada postingan berita yang dirilis saudara Patrick dikirim ke WAG KH DESTRO. Lalu dikomentari oleh anggota WAG yang intinya menanyakan Maunya apa ini anak Tribun atau wartawan Tribun, dimana dulu dia getol tulis mengenai korupsi Pasar Danga dan Bandara. Tetapi sekarang malah melindungi para pelaku Korupsi dengan melakukan berbagai cara untuk mengaburkan obyek Perkara korupsi yang sedang ditangani.
Akhirnya wartawan di WAG KH DESTRO merasa kecewa atas penulisan Patrick.
Sehingga muncullah perkataan anggota WAG KH DESTRO tsb, yang intinya bukan ancaman kepada saudara Patrick murni kekecewaan atas penulisan saudara Patrick.
Jadi dapat disimpulkan tidak ada ancaman kepada saudara Patrick.
Maksud "SAMPAH" dalam hal ini adalah tulisan saudara Patrick, bukan mengarah ke saudara Patrick.
Jadi isi komunikasi di group wa diatas sangat jelas, tak ada pengancaman dalam yang dilakukan klien kami. Ya, ini karena kelemahan literasi pembaca yang gagal mengartikan maksud dan tujuan secara tersirat. Melalui media ini kami minta kepada lembaga media yang mempekerjakan jurnalis tersebut untuk segera memberhentikannya. Karena sangat tidak menjunjung tinggi prinsip dan kode etik jurnalis yang seharusnya mengutamakan prinsip independensi. Jangan sampai bersekongkol dengan pelaku dugaan korupsi. Ingat jangan main-main, kata siapa wartwan tidak bisa dipidana., apabila dalam pengembangan 2 kasus diatas ternyata terbukti. Terhadap wartawan penerima suap dari instansi pemerintahan bisa dianggap turut serta bagian dari pelaku korupsi. Jangan main-main ancaman Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Junto UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saya juga minta oknum jurnalis jujur segera meminta maaf ke publik mumpung belum terlambat," jelas Tobbyas sembari menegaskan. (Yan)