IMPLIKASI LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022 TERHADAP PEMERINTAHAN DI DAERAH

 


IMPLIKASI LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022 TERHADAP PEMERINTAHAN DI DAERAH

Nanang Al Hidayat (Mahasiswa Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi)


Gemabangsa.id - Indonesia adalah negara kesatuan, adapun konsekuensi dari negara kesatuan adalah hanya ada satu pemerintahan yang berdaulat. Namun, karena wilayah Indonesia yang sangat luas agar penyelenggaraan negara berjalan efektif dan efisien maka dibentuklah daerah-daerah otonom berdasarkan asas dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan. 

Dekonsentrasi berada di daerah provinsi, desentralisasi berada di daerah kabupaten/kota, sedangkan tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota dan desa. Penyelenggaraan negara tidak terlepas dari yang namanya anggaran keuangan. Keuangan menjadi unsur yang vital dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan. 

Hampir semua aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun daerah tidak terlepas dari kebutuhan anggaran. Penyelenggaraan pemerintahan yang sangat membutuhkan anggaran yang cukup besar adalah dalam bidang pembangunan baik pembangunan fisik maupun pembangunan sumber daya manusia. 

Oleh karena itu, kondisi keuangan yang sehat sangat menentukan arah dan kebijakan serta realisasi pembangunan wilayah baik tingkat pusat maupun daerah. 

Pemerintah daerah kabupaten/kota yang dijalankan berdasarkan asas desentralisasi memiliki konsekuensi yaitu kewenangan yang luas dalam mengatur dan menjalankan roda pemerintahan di wilayahnya atas inisiatif sendiri. 

Untuk itu, sebagai negara hukum hal ini harus diatur dalam sebuah regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih penyelenggaraan pemerintahan termasuk pendistribusian anggaran antara pemerintah pusat dan daerah. 

Demi memenuhi kebutuhan tersebut maka lahirlah undang-undang tentang pemerintahan daerah dan undang-undang yang terkait keuangan daerah yang sudah ada sejak rezim sebelum reformasi. Adapun yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, (selanjutnya disebut undang-undang HKPD) Lahirnya undang-undang HKPD, merupakan suatu situasi dan kondisi yang memerlukan pemahaman baru terhadap paradigma hukum di bidang pengelolaan keuangan, di tengah wacana paradigmatik good governance. 

Perimbangan keuangan terutama setelah lahirnya undang-undang tersebut membawa implikasi semangat pelaksanaan otonomi daerah yang didasarkan semakin tidak terlalu tergantungnya daerah-daerah dari sumber keuangan daerahnya kepada pemerintah pusat seperti yang terjadi di masa lalu. (baca:rezim orde lama dan orde baru).

Lahirnya undang-undang HKPD yang menggantikan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertujuan untuk menciptakan efisiensi alokasi sumber daya nasional, serta mengatur pengelolaan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara adil, harmonis, dan bertanggung jawab. Secara formal, dilihat dari proses pembentukannya undang-undang HKPD ini dibentuk dengan mekanisme omnibus law karena menghimpun dua undang-undang sekaligus yang berkaitan dengan keuangan. 

Untuk esensinya, undang-undang ini diharapkan dapat memungkinkan pemerataan pelayanan publik dan manfaat bagi masyarakat melalui peningkatan desentralisasi fiskal di Indonesia. Upaya reformasi tidak hanya mengenai alokasi sumber daya keuangan namun juga mengenai bagaimana meningkatkan belanja daerah agar lebih efektif, tepat sasaran dan bersinergi dengan pemerintah pusat. 

Ruang lingkup undang-undang HKPD meliputi pemberian pendapatan daerah berupa pajak dan retribusi, pengelolaan transfer ke daerah, pengelolaan belanja daerah, pemberian kewenangan pembiayaan daerah, dan pelaksanaan koordinasi dengan kebijakan perpajakan nasional.

Arah baru desentralisasi fiskal melalui undang-undang HKPD disusun berdasarkan berbagai tantangan yang dihadapi selama ini dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, seperti belum optimalnya dampak transfer ke daerah dan dana desa dalam mengurangi kesenjangan pelayanan keuangan. Layanan regional; Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tetap harus dioptimalkan dan kewenangan pajak daerah tetap harus ditingkatkan. 

Melalui undang-undang ini akan dilakukan pemutakhiran kebijakan transfer daerah berbasis kinerja, pengembangan sistem perpajakan daerah yang efisien, perluasan program pembiayaan daerah, peningkatan kualitas belanja daerah dan harmonisasi belanja pusat dan daerah.

Undang-undang HKPD mengatur pengalokasian dana bagi hasil (DBH) kepada sektor manufaktur dan non-manufaktur yang terkena dampak eksternalitas serta sektor pengolahan dengan mempertimbangkan efisiensi operasional dinamika regional. 

Undang-undang HKPD mengubah formula alokasi DBH sumber daya alam mineral dan batubara, di mana iuran tetap untuk wilayah laut sampai dengan 4 mil dari pantai ditetapkan sebesar 80% untuk wilayah yaitu provinsi sebesar 30% dan untuk kabupaten/kota penghasil sebesar 50%. Sedangkan tarif produksi yang ditetapkan provinsi terkait sebesar 16%, kabupaten/kota penghasil sebesar 32% dan kabupaten/kota lain yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 12%, Kabupaten/kota terkait lainnya di provinsi ini mencapai 12%. 

Selain itu juga ditetapkan sebesar 8% untuk kabupaten/kota pengolahan. Apabila tidak ada zona pengolahan maka akan didistribusikan secara merata ke seluruh kabupaten/kota lain di provinsi tersebut. Parameter ini berbeda dengan rumus DBH untuk wilayah laut yang terletak lebih dari 4 mil laut dari pantai. 

Peraturan daerah otonomi khusus Aceh dan Papua sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf f, peraturan terkait DBH yang diatur dalam Undang-undang Khusus Aceh dan Papua dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-undang HKPD.

Undang-undang HKPD memperhatikan amanat konstitusi, peran Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral adalah memastikan pengelolaan sumber daya alam baik minyak dan gas, mineral, dan batubara dilakukan dengan baik dan efektif, sehingga dapat berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. 

Pentingnya transparansi pengelolaan keuangan publik, agar dapat memberikan manfaat yang sama bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah sektor produktif. Terkait dengan Pajak Mineral Batu dan Bukan Logam (MBLB) yang merupakan peraturan yang berasal dari hubungan keuangan pusat dan daerah, penambahan peluang tambahan pajak MBLB kepada provinsi sebagai sumber baru diharapkan dapat meningkatkan fungsi perizinan dan pengawasan terhadap kegiatan pertambangan di daerah tersebut. 

Hal ini akan mendukung pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik.

Opsen Pajak juga mendorong peran daerah dalam memperluas perpajakan daerah kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Implementasi Undang-undang HKPD dapat mengurangi ketimpangan keuangan dan kesenjangan pelayanan antar daerah, sehingga pelayanan kepada masyarakat di seluruh wilayah nusantara dapat lebih merata dan berkualitas. 

Pengaturan yang berkaitan dengan administrasi perpajakan daerah, TKD, pembiayaan utang daerah, dan pengendalian APBD akan memungkinkan pemerintah daerah bekerja sama dengan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dengan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, menurut penulis lahirnya undang-undang HKPD ini akan membawa perubahan yang positif terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah karena pendistribusian anggaran keuangan dari diatur dengan skelma yang lebih responsif, efektif, efisien dan akuntabel. 

Sehingga dengan adanya desentralisasi, fiskal pemerintah daerah berhak untuk mengatur susunan pendapatan dan pengeluaran yang dibutuhkan dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja yang tepat sasaran demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Penulis : Nanang Al Hidayat (Mahasiswa Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi)